Taman Nasional (TN) merupakan suatu kawasan yang keberadaannya tak lain adalah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tujuan pembangunan suatu TN secara umum adalah untuk melindungi proses ekologis yang menunjang kehidupan, mengawetkan keanekaragaman ekosistem, spesies dan genetik yang terdapat di dalamnya serta memanfaatkan potensi sumberdaya alam hayati untuk kepentingan penelitian, pendidikan, penunjang budi daya, rekreasi, dan pariwisata. Dalam tujuan tersebut keberadaan dan peran masyarakat sekitar menjadi komponen penting sebagai penyokong tercapainya kegiatan konservasi di TN.
Upaya perlindungan yang dilakukan pemerintah terhadap suatu kawasan konservasi telah melahirkan berbagai kebijakan dari waktu ke waktu, tata pengelolaannya pun mengalami perubahan menyesuaikan kebijakan yang berlaku. Seperti perubahan dari kawasan pelestarian alam, kemudian menjadi kawasan suaka marga satwa, dan beralih menjadi taman nasional. Perubahan sistem tersebut mengarah kepada pembatasan terhadap akses sumber daya alam hayati dan ekosistem yang ada dalam suatu kawasan. Perubahan tersebut rupanya tak melulu membawa dampak positif, tetapi juga menimbulkan permasalahan. Mulai dari pro kontra masyarakat sekitar dengan pihak pengelola, yang berimplikasi pada pengelolaan TN menjadi kurang efektif, hingga kabar konflik yang terjadi antara manusia dengan satwa. Permasalahan tersebut juga terjadi di kawasan koservasi, Taman Nasional Way Kambas (TNWK).
Pemasangan sirine sebagai alat deteksi dini keberadaan gajah di areal pertanian |
Konflik antara gajah dan manusia (KGM) di TNWK telah lama terdengar dan masih terjadi hingga saat ini. Perebutan ruang gerak dan palatabilitas gajah diperkirakan menjadi salah satu faktor penyebab terus terjadinya konflik ini. Kondisi dan letak TNWK yang dikelilingi dan berbatasan langsung dengan 37 desa penyangga turut menjadi faktor meningkatnya frekuensi KGM di TNWK. Masyarakt desa penyangga yang sebagian besar bermatapencaharian sebagian petani harus selalu siaga dan memutar otak untuk mencukupi kebutuhan harian ketika hasil panen yang mereka andalkan telah habis dilahap gajah. Penghalauan dengan peralatan tradisional pun telah
dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk menjaga tanaman mereka dari gangguan gajah. Pembuatan kanal, pengadaan peralatan jaga, pembuatan gubuk jaga, hingga patroli malam hari diperbatasan kawasan masih belum bisa menyelesaikan permasalah ini.
Pemasangan drum putar di jalur aktif gajah menuju areal pertanian |
Ditambah lagi dengan maraknya aktivitas illegal dan kebakaran hutan yang terjadi sepanjang tahun di TNWK mengakibatkan degradasi hutan terus ada, bahkan bisa saja semakin meluas, jika tanpa mitagai khusus. Permasalah-permasalahan tersebut kritis dan membutuhkan perhatian serta penanganan intensif. Melalui dukungan dari SIES-Australia, ALeRT bekerjasama dengan Balai TNWK melakukan mitigasi terhadap adanya kebakaran. Selain itu, terkait aktivitas illegal di dalam kawasan, ALeRT melakukan pendataan temuan aktivitas illegal bersamaan dengan kegiatan survey dan monitoring badak sumatera yang didukung oleh TFCA-Sumatera. Pendataan tersebut meliputi jenis aktivitas yang ditemukan, koordinat lokasi, dan intensitas ancaman. Dari data tersebut akan dipetakan dan menjadi rekomendasi lokasi patroli prioritas. Berbagai jenis temuan aktivitas illegal tersebut meliputi aktivitas perburuan berupa jerat satwa, alat memancing, penebangan pohon, gubuk, dan masyarakat yang mengambil rumput di dalam kawasan. Berbagai aktivitas illegal tersebut turut menjadi potensi yang menyebabkan kebarakaran hutan di TNWK, selain luasnya area yang terdegradasi oleh rumput ilalang.
Sosialisasi dan penyadartahuan mengenai pentingnya kelestarian hutan Way Kambas |
Sebelumnya, dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat desa penyangga TNWK, berlatarbelakang konflik gajah-manusia, konsorsium ALeRT-Unila yang juga didukung oleh TFCA-Sumatera melakukan penyadartahuan dan mengembangkan Wisata Desa di desa penyangga Braja Harjosari pada tahun 2013. Desa wisata dijadikan sebagai alternatif untuk meningkatkan ekonomi masyarakat setempat, dengan asumsi bahwa ketika masyarakat sejahtera, maka kelestarian hutan akan terjaga. Dengan mengangkat potensi desa yang ada, terutama dari segi bentang alam dan budaya, kemudian dikemas dalam paket wisata sederhana namun berkelanjutan, mengubah desa yang rawan konflik menjadi destinasi wisata yang edukatif dan ramah lingkungan.
Melihat pada Desa Braja Harjosari, pengembangan ekonomi alternative dirasa perlu juga dilakukan di Desa Rantau Jaya Udik II dan desa penyangga lainnya. Karena hingga saat ini, kebutuhan ekonomi masih menjadi latarbelakang utama ketergantungan masyarakat pada sumber daya alam TNWK. Upaya meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat, harus diiringi dengan ide kreatif yang berdampak langsung terhadap kondisi ekonomi masyarakat. ALeRT terus berupaya menggali dan mengembangkan potensi yang ada di Desa Ranta Jaya Udik II, dan dalam pelaksanaanya upaya tersebut tidak serta merta mendapatkan hasil positif, kerja keras dan upaya yang telah dilakukan selama ini tetap membutuhkan dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak.
Degradasi habitat di kawasan TNWK oleh vegetasi ilalang (Imperata silindrica) |
AleRT Bersama masyarakat bergotong royong memasang sirine deteksi dini gajah |
Pemasangan drum putar untuk mencegah gajah memasuki areal pertanian warga Artikel ditulis oleh: Siti Asiyah |
0 komentar :
Post a Comment
Berikan saran atau kritik yang membangun untuk website ini
Terimakasih